KONSEP ETIKA DALAM PANDANGAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai
kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan
luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang
mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima”
dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu
sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manusia itu sendiri menggunakan
dorongan diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau
memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi
juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan
seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang
tidak dapat ditawar, dia hadir seiring tiupan ruh dalam janin manusia dan
begitu manusia lahir dalam bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan,
kaki dan anggota tubuh lainnya sangat tergantung pada wilayah, tempat,
lingkungan dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga
dan lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi
ketuhanan (iman) yang sama, begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang
sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang
akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering
dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas.
Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara konfrehenship
dan seyogyanya harus diposisikan sbagai sebuah persfektif tanpa menapikan yang
lain. Keberagamaan yang berbeda (defernsial) antara satu dengan yang
lainnya merupakan salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Karena Islam
itu lahir dengan pondasi keimanan, syariat, muamalat dan ihsan, Keimanan
adalah inti pemahaman manusia tehadap sang pencipta, syariat adalah jalan
menuju penghambaan manusia kepada tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah
keutamaan manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan
harmonis yang bermuara pada kesalehan sosial.
Keberagamaan manusia yang berbeda inilah yang perlu diangkat sebagai
sebuah momentum guna melihat sisi keunikan manusia sebagai ciptaan Tuhan itu
sendiri. Persoalannya adalah apakah keberagamaan yang berbeda itu akan bermuara
kearah yang sama? Kalau kita melihat secara seksama bahwa pada intinya
keberagamaan manusia adalah pencarian terhadap kebenaran, baik kebenaran sosial
hubungan antar manusia atau kebenaran transenden, yaitu cara pandang dan sikap
manusia dalam menempatkan Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya sebagai kebenaran
absolut. Maka keberagamaan itu sendiri akan mengarah pada bagaimana kebenaran
itu bisa diraih dalam rangka pendekatan diri kepada Tuhan sebagai manifestasi
dari “iman”.
Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagamaan
manusia yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas) tentu akan didapat
adalah berbedaan cara pandang (persfektif) dan sangat tergantung
dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah
mansia yang given akan mengarakan kepada kebenaran atau
sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri
selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada
kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan”
yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu
sendiri akan melahirkan subuah prilaku, yaitu moral atau etika.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan etika
2. Bagaimana Etika menurut pandangan
Islam
C.
Tujuan Penulisan
Yang
menjadi dasar penulisan makalah ini adalah sebagai wahana untuk memahami
pengertian etika menurut pandangan Islam.
BAB
II PEMBAHASAN
1. Pengertian Etika
Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim difahami sebagai
suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa
yang baik dan apa yang buruk
berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain,
etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori
mengenai penyelenggaraan hidup yang baik.
Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat
mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas
berkenaan dengan tingkah laku yang
konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori.
Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini,
dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala
disebut ethos.
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika
bisa dibedakan manjadi dua: obyektivisme
dan subyektivisme.
Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan
suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi
tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang
disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu
tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita
senang melakukannya, atau karena sejalan dengan
kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme
universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung
aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam
–pada batas tertentu– ialah aliran Muitazilah.
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan
bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan
dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa
saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu
masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme
etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak
dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya
Asy’ariyah. Menurut faham Asy’ariyah, nilai
kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada
obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan.
Asy’ariyah berpandangan bahwa menusia itu bagaikan
‘anak kecil’ yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu
karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang
baik dan mana yang buruk.
2. Etika Dalam Pandangan Islam
Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu
kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana
halnya dengan teori etika dalam
Islam. Sedangkan telah disebutkan di muka, kita
menemukan dua faham, yaitu faham
rasionalisme yang diwakili oleh
Mu’tazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy’ariyah.
Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik
karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun
karena narasi ayat-ayat al-Qur’an sendiri yang
mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam
al-Qur’an pesan etis selalu saja terselubungi
oleh isyarat-isyarat yang menuntut
penafsiran dan perenungan oleh manusia.
Etika
Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama.
1. Etika
Islam tidak menentang fithrah manusia.
2. Etika
Islam amat rasionalistik.
Sekedar
sebagai perbandingan baiklah akan kami kutipkan pendapat Alex Inkeles
mengenai sikap-sikap modern. Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap
modern sabagai berikut, yaitu:
a. kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru
dan mencoba metode-metode baru;
b. kesediaan buat
menyatakan pendapat; kepekaan pada waktu
dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu
yang telah lampau;
c. rasa ketepatan waktu yang
lebih baik;
d.
keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan
efisiensi;
e. kecenderungan memandang dunia
sebagai suatu yang bisa dihitung;
f. menghargai kekuatan ilmu dan teknologi;
dan
g. keyakinan pada keadilan
yang bias diratakan.
Rasanya
tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang dikemukakan
Inkeles dan diklaim sebagai sikap modern
itu memang sejalan dengan etika al-Qur'an. Dalam diskusi tentang
hubungan antara etika dan moral, problem
yang seringkali muncul ialah bagaimana melihat peristiwa
moral yang bersifat partikular dan individual dalam perspektif
teori etika yang bersifat rasional dan universal. Islam
yang mempunyai klaim universal ketika dihayati
dan direalisasikan cenderung menjadi peristiwa
partikular dan individual. Pendeknya, tindakan moral adalah
tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral
ini akan menjadi pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama
terjadi konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas
kadangkala berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran.
Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi
amat penting. Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan
suatu tindakan subyektif dalam kerangka nilai-nilai etika obyektif,
tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam
acuan sikap batin.
Dalam persfektif psikologi, manusia terdiri dari tiga unsur penting
yaitu, Id, Ego, dan Superego, sedangkan dalam pandangan Islam ketiganya sering
dipadankan dengan nafs amarah, nafs lawwamah, dan nafs
mutmaninah. Ketiganya merupakan unsur hidup yang ada dalam manusia yang akan
tumbuh berkembang seiring perjalanan dan pengalaman hidup manusia. Maka untuk
menjaga agar ketiganya berjalan dengan baik, diperlukan edukasi yang diberikan
orang tua kepada anaknya dalam bentuk pemberian muatan etika yang menjadi ujung
tombak dari ketiga unsur di atas.
Diantara pemberiaan edukasi etika kepada anak diarahkan kepada beberapa
hal di bawah ini:
1.
Pembiasaan
kepada hal-hal yang baik dengan contoh dan perilaku orang tua dan tidak banyak
menggunakan bahasa verbal dalam mencari kebenaran dan sudah barang tentu sangat
tergantung pada sisi historisitas seseorang dalam hidup dan kehidupan.
2. Bila anak
sudah mampu memahami dengan suatu kebiasaan, maka dapat diberikan arahan lanjut
dengan memberikan penjelasan apa dan mengapa dan yang berkaitan dengan hukum
kausalitas (sebab akibat) Pada masa dewasa, anak juga tidak dilepas begtu saja,
peran orang tua sebagai pengingat dan pengarah tidak harus putus, tanpa harus
ada kesan otoriter, bahkan mengajak anak untuk diskusi tentang pemahaman
keberagamaan.
3.
Pada masa
dewasa, anak juga tidak dilepas begtu saja, peran orang tua sebagai pengingat
dan pengarah tidak harus putus, tanpa harus ada kesan otoriter, bahkan mengajak
anak untuk diskusi tentang pemahaman keberagamaan. Pembiasaan kepada hal-hal
yang baik dengan contoh dan perilaku orang tua dan tidak banyak menggunakan
bahasa verbal dalam menyampaikan baik dan buruk sesuatu, manfaat dan
mudharatnya, sesat dan tidaknya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etika dalam islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan
agung yang bukan saja beriskan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam
bentuk hubungan manusia dengan tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan
manusia terhadap Tuhan, Manusia dan alam semesta dari sudut pangan
historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan
pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk
menjungjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan
keadilan. Etika dalam islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang
dan perilaku manusia dalam hubungan social hanya dan untuk mengabdi pada Tuhan,
buka ada pamrih di dalamnya. Di sinilah pean orang tua dalam memberikan muatan
moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapinya dengan bijak dan
damai sbagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan
lilalamain)
B. Saran
Sebagai
mahasiswa yang menempuh pendidikan pada lingkup Sekolah Tinggi Agama Islam,
marilah kita mengambil sikap, jadilah contoh kepada saudara-saudara kita baik
yang muslim maupun non muslim, ingatlah pembawa ajaran Islam Rasulullah
Muhammad Saw. Satu-satunya manusia yang ditunjuk oleh Allah Swt. Sebagai
manusia yang memiliki kepribadian yang tinggi, memiliki etika dan berbudi
pekerti yang luhur, untuk itu sebagai umat muslim seharusnya menjadikan
Rasulullah Muhammad sebagai tauladan dalam menjalankan aktifitas kehidupan
sehari-hari.
Daftar
Pustaka
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas dan
Historitas, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002) hal. V
Ahmad Mudlor, Etika Dalam Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas),
hal. 155
Qomarudin
Hidayat, Etika Dalam Kitab Suci Dan Relevansinya Dalam Kehidupan Modern
Studi Kasus Di Turki, (Jakarta : Paramadina), dalam kumpulan artikel
Yayasan Paramadina, www.paramadina.com
Tugas Kelompok
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai
kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan
luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang
mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima”
dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu
sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manusia itu sendiri menggunakan
dorongan diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau
memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi
juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan
seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang
tidak dapat ditawar, dia hadir seiring tiupan ruh dalam janin manusia dan
begitu manusia lahir dalam bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan,
kaki dan anggota tubuh lainnya sangat tergantung pada wilayah, tempat,
lingkungan dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga
dan lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi
ketuhanan (iman) yang sama, begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang
sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang
akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering
dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas.
Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara konfrehenship
dan seyogyanya harus diposisikan sbagai sebuah persfektif tanpa menapikan yang
lain. Keberagamaan yang berbeda (defernsial) antara satu dengan yang
lainnya merupakan salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Karena Islam
itu lahir dengan pondasi keimanan, syariat, muamalat dan ihsan, Keimanan
adalah inti pemahaman manusia tehadap sang pencipta, syariat adalah jalan
menuju penghambaan manusia kepada tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah
keutamaan manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan
harmonis yang bermuara pada kesalehan sosial.
Keberagamaan manusia yang berbeda inilah yang perlu diangkat sebagai
sebuah momentum guna melihat sisi keunikan manusia sebagai ciptaan Tuhan itu
sendiri. Persoalannya adalah apakah keberagamaan yang berbeda itu akan bermuara
kearah yang sama? Kalau kita melihat secara seksama bahwa pada intinya
keberagamaan manusia adalah pencarian terhadap kebenaran, baik kebenaran sosial
hubungan antar manusia atau kebenaran transenden, yaitu cara pandang dan sikap
manusia dalam menempatkan Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya sebagai kebenaran
absolut. Maka keberagamaan itu sendiri akan mengarah pada bagaimana kebenaran
itu bisa diraih dalam rangka pendekatan diri kepada Tuhan sebagai manifestasi
dari “iman”.
Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagamaan
manusia yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas) tentu akan didapat
adalah berbedaan cara pandang (persfektif) dan sangat tergantung
dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah
mansia yang given akan mengarakan kepada kebenaran atau
sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri
selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada
kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori “ihsan”
yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu
sendiri akan melahirkan subuah prilaku, yaitu moral atau etika.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan etika
2. Bagaimana Etika menurut pandangan
Islam
C.
Tujuan Penulisan
Yang
menjadi dasar penulisan makalah ini adalah sebagai wahana untuk memahami
pengertian etika menurut pandangan Islam.
BAB
II PEMBAHASAN
1. Pengertian Etika
Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim difahami sebagai
suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa
yang baik dan apa yang buruk
berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain,
etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori
mengenai penyelenggaraan hidup yang baik.
Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat
mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas
berkenaan dengan tingkah laku yang
konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori.
Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini,
dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala
disebut ethos.
Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika
bisa dibedakan manjadi dua: obyektivisme
dan subyektivisme.
Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan
suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi
tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang
disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu
tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita
senang melakukannya, atau karena sejalan dengan
kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme
universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung
aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam
–pada batas tertentu– ialah aliran Muitazilah.
Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan
bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan
dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa
saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu
masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme
etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak
dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya
Asy’ariyah. Menurut faham Asy’ariyah, nilai
kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada
obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan.
Asy’ariyah berpandangan bahwa menusia itu bagaikan
‘anak kecil’ yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu
karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang
baik dan mana yang buruk.
2. Etika Dalam Pandangan Islam
Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu
kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana
halnya dengan teori etika dalam
Islam. Sedangkan telah disebutkan di muka, kita
menemukan dua faham, yaitu faham
rasionalisme yang diwakili oleh
Mu’tazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy’ariyah.
Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik
karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun
karena narasi ayat-ayat al-Qur’an sendiri yang
mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam
al-Qur’an pesan etis selalu saja terselubungi
oleh isyarat-isyarat yang menuntut
penafsiran dan perenungan oleh manusia.
Etika
Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama.
1. Etika
Islam tidak menentang fithrah manusia.
2. Etika
Islam amat rasionalistik.
Sekedar
sebagai perbandingan baiklah akan kami kutipkan pendapat Alex Inkeles
mengenai sikap-sikap modern. Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap
modern sabagai berikut, yaitu:
a. kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru
dan mencoba metode-metode baru;
b. kesediaan buat
menyatakan pendapat; kepekaan pada waktu
dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu
yang telah lampau;
c. rasa ketepatan waktu yang
lebih baik;
d.
keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan
efisiensi;
e. kecenderungan memandang dunia
sebagai suatu yang bisa dihitung;
f. menghargai kekuatan ilmu dan teknologi;
dan
g. keyakinan pada keadilan
yang bias diratakan.
Rasanya
tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang dikemukakan
Inkeles dan diklaim sebagai sikap modern
itu memang sejalan dengan etika al-Qur'an. Dalam diskusi tentang
hubungan antara etika dan moral, problem
yang seringkali muncul ialah bagaimana melihat peristiwa
moral yang bersifat partikular dan individual dalam perspektif
teori etika yang bersifat rasional dan universal. Islam
yang mempunyai klaim universal ketika dihayati
dan direalisasikan cenderung menjadi peristiwa
partikular dan individual. Pendeknya, tindakan moral adalah
tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral
ini akan menjadi pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama
terjadi konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas
kadangkala berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran.
Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi
amat penting. Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan
suatu tindakan subyektif dalam kerangka nilai-nilai etika obyektif,
tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam
acuan sikap batin.
Dalam persfektif psikologi, manusia terdiri dari tiga unsur penting
yaitu, Id, Ego, dan Superego, sedangkan dalam pandangan Islam ketiganya sering
dipadankan dengan nafs amarah, nafs lawwamah, dan nafs
mutmaninah. Ketiganya merupakan unsur hidup yang ada dalam manusia yang akan
tumbuh berkembang seiring perjalanan dan pengalaman hidup manusia. Maka untuk
menjaga agar ketiganya berjalan dengan baik, diperlukan edukasi yang diberikan
orang tua kepada anaknya dalam bentuk pemberian muatan etika yang menjadi ujung
tombak dari ketiga unsur di atas.
Diantara pemberiaan edukasi etika kepada anak diarahkan kepada beberapa
hal di bawah ini:
1.
Pembiasaan
kepada hal-hal yang baik dengan contoh dan perilaku orang tua dan tidak banyak
menggunakan bahasa verbal dalam mencari kebenaran dan sudah barang tentu sangat
tergantung pada sisi historisitas seseorang dalam hidup dan kehidupan.
2. Bila anak
sudah mampu memahami dengan suatu kebiasaan, maka dapat diberikan arahan lanjut
dengan memberikan penjelasan apa dan mengapa dan yang berkaitan dengan hukum
kausalitas (sebab akibat) Pada masa dewasa, anak juga tidak dilepas begtu saja,
peran orang tua sebagai pengingat dan pengarah tidak harus putus, tanpa harus
ada kesan otoriter, bahkan mengajak anak untuk diskusi tentang pemahaman
keberagamaan.
3.
Pada masa
dewasa, anak juga tidak dilepas begtu saja, peran orang tua sebagai pengingat
dan pengarah tidak harus putus, tanpa harus ada kesan otoriter, bahkan mengajak
anak untuk diskusi tentang pemahaman keberagamaan. Pembiasaan kepada hal-hal
yang baik dengan contoh dan perilaku orang tua dan tidak banyak menggunakan
bahasa verbal dalam menyampaikan baik dan buruk sesuatu, manfaat dan
mudharatnya, sesat dan tidaknya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etika dalam islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan
agung yang bukan saja beriskan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam
bentuk hubungan manusia dengan tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan
manusia terhadap Tuhan, Manusia dan alam semesta dari sudut pangan
historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan
pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk
menjungjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan
keadilan. Etika dalam islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang
dan perilaku manusia dalam hubungan social hanya dan untuk mengabdi pada Tuhan,
buka ada pamrih di dalamnya. Di sinilah pean orang tua dalam memberikan muatan
moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapinya dengan bijak dan
damai sbagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan
lilalamain)
B. Saran
Sebagai
mahasiswa yang menempuh pendidikan pada lingkup Sekolah Tinggi Agama Islam,
marilah kita mengambil sikap, jadilah contoh kepada saudara-saudara kita baik
yang muslim maupun non muslim, ingatlah pembawa ajaran Islam Rasulullah
Muhammad Saw. Satu-satunya manusia yang ditunjuk oleh Allah Swt. Sebagai
manusia yang memiliki kepribadian yang tinggi, memiliki etika dan berbudi
pekerti yang luhur, untuk itu sebagai umat muslim seharusnya menjadikan
Rasulullah Muhammad sebagai tauladan dalam menjalankan aktifitas kehidupan
sehari-hari.
Daftar
Pustaka
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas dan
Historitas, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002) hal. V
Ahmad Mudlor, Etika Dalam Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas),
hal. 155
Qomarudin
Hidayat, Etika Dalam Kitab Suci Dan Relevansinya Dalam Kehidupan Modern
Studi Kasus Di Turki, (Jakarta : Paramadina), dalam kumpulan artikel
Yayasan Paramadina, www.paramadina.com
Tugas Kelompok
KONSEP
ETIKA
DALAM
PANDANGAN ISLAM
Disusun Oleh:
NURDIN
RUSMANTO
JOKO PRAMONO
MATA KULIAH
NILAI DAN ETIKA PENDIDIKAN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) DDI ALHIDAYAH LAMOOSO
KABUPATEN KONAWE SELATAN
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2012
Disusun Oleh:
NURDIN
RUSMANTO
JOKO PRAMONO
MATA KULIAH
NILAI DAN ETIKA PENDIDIKAN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) DDI ALHIDAYAH LAMOOSO
KABUPATEN KONAWE SELATAN
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
2012