Makalah PEMBELAJARAN PARTISIPATIF BERBASIS TEKNOLOGI
Contoh Makalah
PEMBELAJARAN
PARTISIPATIF BERBASIS TEKNOLOGI SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN
YANG MENYENANGKAN SISWA
Oleh :
Pendahuluan
Bagi masyarakat umum, transfer pengetahuan
dari seseorang kepada orang lain cukup dilakukan melalui komunikasi dua arah.
Tidak penting bagi mereka untuk mengemas pesan yang lebih inovatif dan kreatif karena
tujuannya adalah agar kedua belah pihak dapat mengerti dan memahami mengenai
isi pesan tersebut. Berbeda dengan masyarakat akademik (academic community), transfer pengetahuan yang meliputi aspek academic skill, personal skill (self
awereness), social skill, vocational skill, dll tidak begitu saja
dilakukan, tetapi dalam melakukan transfer pengetahuan tersebut dibutuhkan kemampuan
dan keterampilan khusus oleh seorang guru. Kemampuan dan keterampilan khusus
untuk transformasi pengetahuan tersebut dalam dunia akademik sering dikenal
dengan istilah didaktik metodik atau istilah sekarang dikenal dengan sebutan kompetensi
pedagogik.
Bagi seorang guru, kompetensi
pedagogik sangat dibutuhkan untuk melaksanakan proses pembelajaran di dalam
kelas dan di luar kelas. Tanpa memiliki kemampuan dan kompetensi pedagogik,
maka guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas dan di luar kelas akan
mengalami kesulitan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan
sebelumnya. Oleh karena itu, bagi guru bekal kemampuan dan kompetensi pedagogik
menjadi sangat penting dan mutlak harus dimilikinya. Kompetensi pedagogik yang
paling mendasar yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi yang
berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengembangkan model-model pembelajaran
yang inovatif, kreatif, dan menyenangkan siswa. Dengan demikian, seorang guru akan
lebih mudah melakukan transformasi pengetahuan yang dimilikinya kepada siswa.
Dalam kondisi yang demikian, maka siswa akan mudah pula mencerna, mengerti, dan
memahami substansi materi pelajaran yang disampaikan oleh guru tersebut.
Dalam praktiknya, kompetensi pedagogik
yang dimiliki oleh sebagian guru masih rendah. Rendahnya komptensi pedagogik tersebut
tampak ketika guru dalam menyampaikan materi masih menekankan pada model
pembelajaran yang konvensional, seperti penggunaan metode ceramah semata dalam
materi pelajaran tersebut. selain kompetensi pedagogik yang masih rendah, masih
ada sebagian guru yang tidak mampu memilih model pembelajaran yang tepat untuk
materi-materi pelajaran tertentu karena dilihat dari isinya materi pelajaran
tersebut memiliki karakterisitik yang berbeda-beda. Akibatnya, proses
pembelajaran yang berlangsung lebih didominasi oleh aspek rote knowledge dibandingkan aspek critical thinking. Proses pembelajaran yang berlangsung menjadi
tidak bermakna (meaninglessness) dan
masih jauh dari pembelajaran yang bermakna (meaningfull).
Sulit dipungkiri pula bahwa sebagian
guru masih menerapkan model pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered learning). Menurut para
ahli model ini sering disebut sebagai banking
education, ketika seorang guru menempatkan dan memposisikan diri sebagai
seorang teacher dan bukan sebagai
seorang educator. Sementara itu,
model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered learning) masih sulit diterapkan oleh guru karena
secara kultural, guru masih menganggap dirinya paling pintar dan hebat.
Revitalisasi
Model Pembelajaran Konvensional Ke Model Pembelajaran Partisipatif
Diakui bahwa model-model pembelajaran
yang diterapkan oleh para guru masih belum membuahkan hasil yang maksimal bagi
kompetensi siswa. Bagi guru dituntut untuk terus melakukan kajian dan
pembaharuan terhadap model-model pembelajaran yang lebih inovatif, kreatif, dan
menyenangkan. Oleh karena itu, inovasi dan kreativitas untuk mengembangkan
model-model pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dan mendesak bagi seorang
guru. Hal ini berangkat dari ditemukannya berbagai kasus bahwa minat dan
motivasi siswa untuk mengikuti pelajaran masih sangat rendah sehingga
penguasaan materinyapun juga sangat lambat.
Untuk
meningkatkan penguasaan materi oleh siswa, oleh para ahli telah mengembangkan
model-model pembelajaran yang menyenangkan siswa. Seorang ahli, seperti Paulo
Friere (Mubyarto, 2002) mengembangkan model pembelajaran yang disebut dengan
nama problem-posing education. Konsep
model pembelajaran tersebut, menurut Paulo Friere memiliki substansi sebagai
berikut. Problem-Posing Education : the
educator’s effort mus be imbued with a profound trust in men and their creative
power. Educator must be the action and reflection of men upon their world in
order to transform it.
Konsep
dari model pembelajaran di atas, menurut Paulo Friere bertujuan untuk mengganti
model pembelajaran konvesional, yakni model pembelajaran banking education. Model pembelajaran ini banyak mengandung
kelemahan karena guru menempatkan dan memposisikan diri sebagai teacher bukan educator. Substansi model pembelajaran banking education adalah sebagai berikut. Banking Education : The conventional form of education becomes an act
of depositing, in which the student are depositories and the teacher is
depositor. Instead of communicating, the teacher issues communiques and makes
doposits which the student patiently receive, memorize, and repeat.
Dengan
melihat substansi kedua model pembelajaran tersebut, maka jelas bahwa model banking education memiliki banyak
kelemahan yang mendasar. Dalam model pembelajaran ini siswa menjadi pasif dan
hanya menerima apa yang disampaikan atau diberikan oleh guru. Begitu pula,
dalam model ini guru menganggap siswa belum memiliki pengetahuan, bahkan
menganggap siswa adalah bodoh dan gurulah yang paling pintar dan hebat.
Sebaliknya, model problem-posing
education memiliki banyak kelebihan, antara lain : siswa lebih bersifat
aktif, siswa dianggap memiliki potensi yang sama dengan guru, dan guru berperan
sebagai pendidik (educator), guru bersama
siswa belajar bersama, dan dimungkinkannya guru memperoleh pengetahuan baru
dari siswanya.
Ahli
pendidikan lainnya yang mengembangkan model pembelajaran sosial adalah Zamroni.
Menurutnya model pembelajaran ilmu sosial yang lebih mengedepankan pada
pengembangan critical thinking siswa.
Konsep dari model pembelajarannya dikenal dengan nama participatory action-learning. Menurut Zamroni (2002) model
pembelajaran participatory
action-learning memiliki tiga prinsip utama, yaitu (1) antisipatori, (2)
partispasi, dan (3) mapping.
Antisipatori dimaksudkan agar siswa dibiasakan untuk dapat membaca tanda-tanda
masa depan dari apa yang dipelajari sekarang. Partisipasi dimaksudkan agar siswa
diajak untuk tidak saja berpikir abstrak, tetapi juga diajak untuk menguji dan
menyaksikan apa yang ada dalam teori dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Mapping dimaksudkan agar siswa diajak
untuk melakukan observasi masyarakat sekitar untuk menangkap gejala sebab
akibat yang terjadi berulang secara konsisten.
Pelaksanaan
pembelajaran partisipatif, selain dapat mempengaruhi proses pembelajaran siswa,
juga dapat menampatkan dan memposisikan guru menjadi lebih elegan dan patner
siswa. Dominasi guru dalam proses pembelajaran dan guru sebagai satu-satunya
sumber informasi akan mengalami pergeseran peran menjadi :
(i) Teacher is
part of team;
(ii) Teacher
is not the “boss” mentally;
(iii) Teachers are lifelong learners;
(iv) Teachers students links on literacy
experience in and out of school;
(v) Teacher
accountability (Wahab, 2010).
Integrasi Teknologi Dalam
Pembelajaran Yang Partisipatif Sebagai Alternatif Model Pembelajaran Inovatif
dan Menyenangkan Siswa
Secara
teoritis, UNESCO mencanangkan empat pilar pembelajaran yang perlu diterapkan
pada abad 21. Hal ini bertujuan dalam proses pembelajaran siswa mampu menyerap,
sekaligus mengikuti arus perubahan informasi dan transformasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang bergerak dan berubah
dengan cepat. Dengan demikian, transformasi sosial dapat berlangsung dengan
baik tanpa menimbulkan goncangan budaya (culture
schock) bagi siswa. Keempat pilar pembelajaran tersebut, yaitu :
(i)
Learning to know;
(ii)
Learning to do;
(iii) Learning
to live together;
(iv) Learning
to be.
Learning to know dimaksudkan
bahwa dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru siswa dapat
memahami dan mengerti serta menemukan pengetahuan dalam arti luas yang mencakup
academic skill, personal skill (self
awereness), social skill, vocational skill, dll. Learning to do dimaksudkan bahwa dalam
proses pembelajaran siswa tidak hanya belajar secara teoritis-mekanis,
abstrak-verbal, melainkan belajar melakukan sesuatu yang konkrit, nyata, dan
dapat dirasakan langsung sesuai dengan realita. Learning to live together dimaksudkan bahwa dalam proses
pembelajaran siswa diberikan bekal kemampuan untuk hidup bersama, belajar
bersama, saling menghormati, dan tidak diskriminatif. Learning to be dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran siswa
diarahkan sebagai manusia yang mengenal dirinya sendiri, berkepribadian yang
mantap, baik secara akademis-intelektual maupun emosional-spritual.
Untuk mencapai empat pilar
pembelajaran tersebut, kreativitas dan inovasi guru diperlukan untuk
mengembangkan model pembelajaran tersebut. salah satu model pembelajaran yang
dapat dikembangkan sebagai alternatif pembelajaran yang menyenangkan siswa
adalah model pembelajaran partisipasi yang berbasis teknologi. Hal ini seiring
dengan perkembangan dan perubahan ilmu pengetahuan dan tekonologi yang sangat
cepat, terutama teknologi multi media. Model pembelajaran partisipasi berbasis
teknologi tersebut dapat memberikan pengalaman langsung pada siswa pada dunia
nyata, siswa menjadi aktif dalam pembelajaran, sekaligus mengerti dan memahami
berbagai persoalan yang nyata, dapat belajar dari pengalaman hidup dan
pengembangan diri. Dengan demikian, model pembelajaran tersebut merupakan cerminan
empat pilar pembelajaran sekaligus, yakni terkandung unsur learning to know, learning to
do, learning to live togenther,
dan learning to be.
Ada beberapa perbedaan
yang mendasar model pembelajaran yang konvensional dengan model pembelajaran
partisipatif berbasis teknologi. Model pembelajaran konvensional menurut Ace
Suryadi (2006) memiliki ciri-ciri sebagai berikut : adanya kelas yang tertutup
dalam kelas, yang juga tertutup dari lingkungannnya, setting ruangan yang statis dan penuh formalitas, guru menjadi
satu-satunya sumber ilmu dan pengetahuan siswa, yang mengajar secara linier,
menggunakan papan tulis sebagai sarana utama, situasi belajar diupayakan hening
untuk menciptakan konsentrasi belajar yang maksimal, menggunakan buku wajib
yang cenderung menjadi satu-satunya yang sah sebagai referensi di kelas, dan
adanya model ujian dengan soal pilihan ganda (multiple choises) yang hasilnya menjadi ukuran kemampuan siswa.
Sedangkan model pembelajaran yang berbasis teknologi memiliki kelebihan antara
lain; mempermudah dan mempercepat siswa bekerja (efisien), menyenangkan karena
siswa berinteraksi dengan warna-warna, gambar, suara, video, dan sesuatu yang
instan, dan mampu membangkitkan emosi posistif dalam proses belajar.
Dengan mengintegrasikan teknologi
informasi dan komunikasi (information and
communication technology, ICT) ke dalam model pembelajaran, siswa dapat
mengerjakan tugas-tugas dan pekerjaaan di kelas maupun di rumah dengan
memanfaatkan aplikasi ensiklopedia (interaktive
CD-ROM, multi-media), world-wide-web,
pengolah kata, spreadsheet, graphic design, presenation tools, dsb. Sementara interaksi dalam bertukar pikiran
dengan siswa lain dan guru atau wawancara dengan nara sumber, searching, dll
dapat dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi-aplikasi networking, seperti e-mail,
world-wide-web, chat, voicemail, dan tele-conference (Ace Suryadi, 2006).
Model-model pembelajaran partisipasi
berbasis teknologi dapat diterapkan pada model-model pembelajaran yang bersifat
interaktif multi arah, seperti model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), model
pembelajaran berbasis projek (project
based learning), model pembelajaran kontekstual (contectual teaching and learning), model pembelajaran pengungkapan
nilai (value clarification technique),
model pembelajaran kooperative (cooperative
learning), dan model-model pembelajaran lainnya yang lebih mutakhir,
seperti model pembelajaran mandiri berbasis online.
Meskipun introduksi teknologi ke dalam
pembelajaran partisipatif memberikan motivasi dan emosi positif belajar siswa,
tetapi penerapan pembelajaran partisipatif berbasis teknologi harus diikuti
oleh kondisi perkembangan kejiwaan siswa, bahan dan materi pembelajaran,
kemampauan dan kompetensi pedagogik guru, sarana dan prasarana pembelajaran
(media ICT-Multi media) yang tersedia, dan komitmen komunitas sekolah,
pemerintah, masyarakat, dan stake-holders
lainnya dalam meningkatkan pembaharuan kualitas pembelajaran (learning reform).
Para ahli pendidikan telah mereformasi
pembelajaran berbasis teknologi bahwa selain membantu menciptakan kondisi
belajar yang kondusif secara mental, peran penting hadirnya teknologi informasi
dan komunikasi (ICT) ke dalam proses pembelajaran adalah menyediakan
seperangkat media dan alat (tools)
untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan siswa, serta memberi keterampilan
menggunakan teknologi tinggi (advanced
skiils). Dengan mengutip Thomas C. Reevers, dijelaskan bahwa untuk
kepentingan pembelajaran di sekolah , terdapat dua pendekatan pokok penggunaan
teknologi ICT, yaitu para siswa dapat belajar “dari” teknologi dan “dengan”
teknologi. Belajar “dari” teknologi dilakukan seperti pada penggunaan computer-based instruction (tutorial)
atau integrated learning system.
Belajar dengan teknologi adalah penggunaan teknologi sebagai cognitive tools (alat bantu pembelajaran
kognitif) dan penggunaan teknologi dalam lingkungan pembelajaran konstruktivis
(constructivist learnng environments)
(Ace Suryadi, 2006).
Model Pembelajaran Partisipatif
Berbasis Teknologi Dalam Konteks Nilai-Nilai Ke- Indonesia-an
Belajar
dari berbagai negara, terutama negara Jepang dan Cina yang menggabungkan antara
nilai-nilai tradisional dengan teknologi interaktif ke dalam model pembelajaran
di dunia persekolahan merupakan model pembelajaran yang lebih mutakhir tanpa
meninggalkan nilai-nilai kebangsaan-tradisional yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat dan bangsanya. Nilai-nilai kebangsaaan-tradisional ditujukan untuk
dalam kerangka membangun martabat, harga diri, jati diri, dan identitas
kebangsaannya yang lebih civilized (berbudaya),
sedangkan pembelajaran berbasis tekonologi ditujukan untuk membangkitkan
semangat peradaban modern melalui keterampilan dan penguasaan teknologi tinggi,
bahkan menciptakan teknologi yang canggih, sehingga mampu sejajar dengan
negara-negara barat.
Dalam
perspektif pendidikan di Indonesia, pembelajaran partisipatif berbasis
teknologi merupakan prasyarat untuk menuju pendidikan yang lebih unggul dan
modern, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai budaya ke-Indonesiaan, seperti
nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan, kebersamaan, kesetiakawanan, toleransi,
kejujuran, kejuangan, dan nilai-nilai luhur lainnya. Hal ini penting, karena
melalui tekonologi yang tinggi seringkali merubah pola pikir manusia menjadi
angkuh dan sombong, bahkan seringkali menonjolkan egoisme dan individualisme
dengan menabrak nilai-nilai kesantunan dan kemanusiaan. Oleh karena itu, model
pembelajaran partisipatif berbasis tekonologi yang diterapkan di dunia
persekolahan di Indonesia dapat direkontruksi dengan menggabungkan pembelajaran
berbasis teknologi (technology based
learning) dengan pembelajaran berbasis nilai (value based learning). Model pembelajaran tersebut memberikan ruang
bagi para siswa untuk mengembangkan domain kognitif, sekaligus juga menumbuhkan
dan membangun domain afektif dan psikomotorik. Sementara peran guru, bukan saja
sebagai teacher, tetapi sekaligus educator, motivator, fasilitator, dan
dinamisator. Kemasan model pembelajaran tersebut dapat berbentuk permainan (games), bermain peran (role playing), belajar sambil
berbuat/melakukan (learning by doing),
portofolio, cased study, problem solving, project solving, dan model-model pembelajaran yang menyenangkan
siswa lainnya.
Adapun kelebihan yang dimiliki oleh
integrasi model pembelajaran berbasis teknologi dan pembelajaran nilai tersebut,
khususnya yang bermanfaat bagi siswa, antara lain sebagai berikut :
(1) Menumbuhkan kepekaan siswa (sense of crisis) terhadap masalah-masalah di dunia nyata (konkrit) yang
ditemukan di tengah-tengah masyarakat.
(2) Meningkatkan keaktifan dan motivasi siswa dalam
proses pembelajaran karena siswa terlibat langsung dalam membedah topik/isu dan
masalah-masalah.
(3) Menimbulkan rasa senang pada diri siswa karena ada
unsur learning by doing (siswa dapat
berbuat, berbicara, dan bertindak).
(4) Menimbulkan kesadaran siswa untuk menghayati dan
mengikuti perkembangan teknologi, bukan saja sekedar mengadopsi teknologi
semata, melainkan bagaimana teknologi itu diproses dan diciptakan.
(5) Menumbuhkan sikap kritis siswa (critical thinking) terhadap gejala,
fenomena, dan masalah yang ada di tingkat global.
(6) Menumbuhkan rasa kebersamaan dalam sebuah
kelompok/team, sehingga tercipta adanya rasa kesetiakawanan, kebersamaan, dan
toleransi.
Penutup
Keberhasilan
pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas banyak ditentukan oleh kemampuan dan
kompetensi pedagogik guru. Kompetensi pedagogik guru tersebut adalah berkaitan
dengan kemampuan guru melakukan inovasi model-model pembelajaran yang
menyenangkan siswa dengan tetap menjunjung tinggi prinsip learning to know, learning to
do, learning live together, dan learning to be. Dengan memperhatikan
empat prinsip pembelajaran tersebut maka diharapkan dalam pembelajaran tersebut
ditemukan unsur olah pikir (kecerdasan intelektual), olah kalbu (kecerdasan
emosional, kejujuran dll), olah rasa dan karsa (kecerdasan spritual, kepedulian
dll), dan olah raga ( ketangguhan, dll).
Inovasi
pembelajaran yang menyenangkan siswa dapat dilakukan melalui pembelajaran yang
partisipatif berbasis teknologi dengan tetap memperhatikan pembelajaran nilai.
Penerapan model pembelajaran partisipatif berbasis teknologi tersebut perlu
mempertimbangkan pula kondisi siswa dan tingkat pemikirannya, usianya, dan
pengalamannya; karakterisitik mata pelajaran, materi, dan topik yang dibahas;
fasilitas belajar, sumber belajar, dan media pembelajaran berbasis teknologi yang
tersedia, dan adanya komitmen dari komunitas sekolah, pemerintah, masyarakat,
dan stake-holders lainnya untuk
memprioritaskan pendanaan pengadaan ICT di sekolah-sekolah. Sebagai bahan
pembanding, Singapura menyediakan US$ 2,5 juta
setiap sekolah, satu komputer untuk setiap dua siswa di setiap sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta
: ReaD-Pustaka Pelajar.
Isjoni et al.
(editor). 2008. Model-Model Pembelajaran
Mutakhir : Perpaduan Indonesia-Malaysia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Karsadi. 2011. Integrasi
Model Role Playing dan Participatory Action-Learning Sebagai Model Pembelajaran
Yang Menyenangkan Siswa. Kendari : Makalah Seminar Nasional Yang
Diselenggarakan oleh UPBJJ-UT Kendari.
Mubyarto. 2002. Ilmu Sosial dan Profesionalisme
Guru di Indonesia. Yogyakarta. Makalah Seminar Nasional Reorientasi Peran
Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Menyongsong Pelaksanaan Kurikulum Berbasis
Kompetensi.
Suryadi, Ace, 2006. Model Pembelajaran Alternatif Menuju Reformasi Pembelajaran (School
Reform), dalam Pendidikan Nilai Moral Dalam Dimensi Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung : Laboratorium PKn FPIPS-UPI Bandung.
Wahab, Abdul Azis. 2011. Pengembangan Pembelajaran Portofolio. dalam Gagasan dan Pemikiran
Pembangaunan Pendidikan di Indonesia. Bandung : Laboratorium PKn FPIPS
Universitas Pendidikan Indonesia
Zamroni. 2001. Pendidikan Untuk Demokrasi :
Tantangan Menuju Civil Society. Yogyakarta. Bigraf Publising.
_______. 2002. Reorientasi Pengajaran Ilmu-Ilmu
Sosial Dalam Kaitannya Dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Yogyakarta.
Makalah Seminar Nasional Reorientasi Pengajaran Ilmu-Ilmu Sosial.