Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Iklan Bar

Ciri Khas Suku Aceh dan Berbagai Upacaranya

Berbicara tentang Budaya Aceh memang tak habis-habisnya dan tak akan pernah selesai sampai kapanpun. Topik yang satu ini memang menarik untuk dibicarakan terutama karena budaya itu sendiri sesungguhnya merupakan segala hal yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia. Jadi,selama manusia itu ada selama itu pula persoalan budaya akan terus dibicarakan. 

Demikian pula halnya budaya Aceh, budaya yang terdapat didaerah yang pernah dilanda konflik dan Tsunami 26 Desember 2004  lalu. Dua peristiwa besar yang melanda Nanggroe Aceh Darusalam telah mencatat banyak sejarah. 

Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan kaidah-kaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat  adalah sebagai berikut :

Golongan Rakyat Biasa; yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Le (orang banyak). Disebut demikian karena golongan ini merupakan golongan yang paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat adat Aceh.

Golongan Hartawan; yaitu golongan yang bekerja keras dalam mengembangkan ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada itulah terbentuknya suatu golongan masyarakat. Karena keberadaannya sehingga mereka menjelma menjadi golongan hartawan. Golongan ini cukup berperan dalam soal-soal kemasyarakatan khususnya sebagai penyumbang-penyumbang dana.
Golongan ulama/cendikiawan; umumnya mereka berasal dari kalangan rakyat biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol. Sehingga mereka disebut orang alim dengan gelar Teungku. Mereka cukup berperan dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.
Golongan kaum bangsawan; termasuk didalamnya keturunan Sultan Aceh yang bergelar “Tuanku” keturunan yang bergelar  “Uleebalang”“Teuku” (laki-laki) dan “Cut” (bagi perempuan).
Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan masyarakat Aceh, merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang menjadi suatu kelompok masyarakat; yang disebut “Gampong” (Kampung). Sistem sosial pada masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh kepada keluarga lainnya. Dengan demikian hubungan antara satu keluarga inti dengan keluarga inti lainnya cukup erat.

Pakaian adat Aceh dilengkapi dengan beberapa macam pernik yang biasa selalu dikenakan pada acara-acara tertentu. Pernik-pernik tersebut antara lain:

Keureusang (Kerosang /Bros) adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.

Patam Dhoe adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari emas ataupun dari perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota. Patam Dhoe terbuat dari perak sepuh emas. Terbagi atas tiga bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif ini disebut Bungong Kalimah-yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.

Peuniti, Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh.

Simplah, merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah. Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantaiSimplah mempunayi ukuran Panjang sebesar 51 Cm dan Lebar sebesar 51 Cm..

Subang Aceh,Subang Aceh memiliki Diameter dengan ukuran 6 Cm. Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut “Sigeudo Subang”. Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.

Taloe Jeuem, Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan hiasan be4ntuk ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat laki-laki yang disangkutkan di baju.

KHASANAH BUDAYA ACEH
Adat Aceh dari Masa Istri dalam Keadaan Hamil sampai kepada anaknya dikawinkan (Mampleue)
KEUMAWEUEH Pada waktu hamil pertama seorang istri, waktu hamil 5 bulan, oleh pihak orang tua perempuan yang hamil tersebut diadakan sedikit kenduri dengan disertai nasi ketan dan dipanggil ahli famili dari pihak istri yang hamil. Setelah ahli famili dari pihak istri berkumpul, maka diadakan upacara basuh Kepala (Rhah Ulee).

Upacara (keumaweuh) meunieum ini ada juga dilakukan sewaktu seorang istri hamil setelah 7 bulan. Bahan makanan yang dibawa oleh pihak orang tua si suami ialah Bu Kulah yaitu nasi putih yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk Piramid di dalam hidang, bu leukat (nasi ketan) untuk peusunting meunantu yang sedang hamil, disertai Ayam Panggang dan Tumpou.Lauk pauk nasi ialah Ikan, Daging yang dimasak berbagai macam, Telur Ayam dan Telur Itik rebus, Jreuk dan lain-lain masakan yang disusun di dalam hindang berlapis-lapis (hiding meulampoh).Buah-buahan yang dibawa ialah segala macam buah-buahan yang ada, termasuk buah-buahan untuk rujak (seunicah) sebanyak satu keranjang besar. Selain itu juga ada dibawa kue-kue (Peunajoh) basah dan kering. Maksud tujuan dari upacara adat Meunineum ini pada mulanya ialah lebih menguatkan rasa persaudaraan antara kedua belah pihak (suami-istri) dan utnuk lebih menguatkan silaturrahmi antara sesame ahli famili. Makanan yang dibawa ini dibagi-bagikan juga kepada famili pihak istri.

KELAHIRAN BAYI
Setelah bayi lahir dan setelah dibersihkan, maka kalau bayi tersebut laki-laki diazankan ditelinga kanan dan kalau bayi tersebut perempuan diqamatkan ditelinga kiri, yang dilakukan olah Ayah si bayi ataupun oleh kerabat tertua yang terpandang alim dalam keluarga.

UPACARA ADAT PEUCICAP
Menurut penyelidikan kami kepada orang-orang tua, bawah upacara ini dilakukan pada hari ke-7 setelah bayi dilahirkan, yaitu kepada bayi tersebut dicicipi Madu Lebah, Kuning Telur dan Air Zam-zam.Oleh pihak orang tua si suami dibawakan seperangkat keperluan bayi tersebut, yaitu ija (kain) ayunan, ija geudong (kain pembalut) bayi, ija tumpe (popok), tilam, bantal dan tali ayun (tali ayunan). Kalau dikalangan kaum hartawan ada juga yang membawa tali ayun dari emas. Selain itu juga diberikan sepersalinan pakaian kepada si istri yang baru melahirkan, yang diberikan oleh ibu mertuanya. Pada hari itu juga diadakan Akikah, yaitu menyembelih seekor kambing, cukur rambut bayi dan pemberian nama kepada si bayi, dengan upacara peusijuek dan sebaran beras- padi serta doa selamat.

Masa hamil
Pada masa hamil, seorang dara barô yang menantikan kelahiran anak pertama mengalami berbagai jenis upacara yang harus dipatuhi dan dijalaninya sebagai masayarakat Aceh. Berikut akan penulis paparkan satu per satu.

Ba bu (mèe bu)
Adat Aceh apabila istri dalam keadaan hamil, seorang isteri pada saat hamil anak pertama, maka sudah menjadi adat bagi mertua atau maktuan dari pihak suami mempersiapkan untuk membawa atau mengantarkan nasi hamil kepada menantunya. Acara bawa nasi ini disebut ba bu atau mèe bu. Upacara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sang cucu yang dilampiaskan dengan rasa suka cita sehingga terwujud upacara yang sesuai dengan kemampuan maktuan. Nasi yang diantar disebut bu kulah, biasanya dibungkus dengan daun pisang muda berbentuk piramid, ada juga sebagian masyarakat mempergunakan daun pisang tua. Terlebih dulu daun tersebut dilayur pada api yang merata ke semua penjuru daun, karena kalau apinya tidak merata maka daun tidak kena layur semuanya. Sehingga ada mitos dalam masyarakat Aceh kelak apabila anak telah lahir maka akan terdapat tompel pada bahagian badannya. Di samping nasi juga terdapat lauk pauk yang terdiri dari ikan, daging, ayam panggang, dan burung yang dipanggang kawan nasi. Tidak lupa pula buah-buahan. Barang-barang ini dimasukkan ke dalam idang atau katéng (wadah). Idang ini diantar kepada pihak menantu perempuan oleh pihak kawom atau kerabat dan jiran (orang yang berdekatan tempat tinggal). Upacara ba bu berlangsung dua kali. Ba bu pertama disertai boh kayee (buah-buahan), kira-kira usia kehamilan pada bulan keempat sampai bulan kelima. Acara yang kedua berlangsung dari bulan ketujuh sampai dengan bulan kedelapan. Ada juga di kalangan masyarakat acara ba bu hanya dilakukan satu kali saja. Semua itu tergantung kepada kemampuan bagi yang melaksanakannya, ada yang mengantar satu idang kecil saja dan ada pula yang mengantar sampai lima atau enam idang besar. Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan. Ini dimaksudkan bahwa perempuan yang lagi hamil adalah orang sakit, sehingga dibuat jamuan makan yang istimewa, menurut adat orang Aceh perempuan yang lagi hamil harus diberikan makanan yang enak-enak dan bermanfaat. Dalam ilmu kesehatan pun memang dianjurkan untuk kebutuhan gizi bayi yang dikandungnya. Apabila itu tidak dituruti maka berakibat buruk pada anak yang dikandungnya, istilah bahasa Aceh roe ie babah (ngeces). Upacara bawa nasi suatu kewajiban adat yang harus dilakukan, sampai saat sekarang masih berlangsung dalam masyarakat.

Lain halnya pada Masyarakat suku Aneuk Jamee Kabupaten Aceh Selatan terdapat adat bi bu bideun (memberi nasi untuk ibu bidan), maksudnya seorang anak menikaah dan hamilnya sudah 6 bulan sampai 7 bulan maka untuk anak tersebut sudah dicarikan ibu bidan untuk membantu proses kelahirannya. Mertua menyediakan sirih setapak (bahan-bahan sirih), pakaian sesalin (satu setel), dan uang ala kadarnya. Bahan-bahan yang disebut peunulang ini akan diberikan kepada bideun sebagai tanda penyerahan tanggung jawab untuk merawat kelahiran bayi. Mertua menyerahkan menantunya kepada bidan. Penyerahan ini diiringi dengan ucapan “nyoe udep matee aneuk lon, lon pulang lam jaroe gata” (hidup mati anak saya, saya serahkan dalam asuhan saudara). Lalu bidan mengucapkan “bak geutanyoe useuha umu bak Tuhan” (kita berusaha, umur pada Tuhan).
\
Berdasarkan perubahan zaman yang terus menyesuaikan adat ba bu ini ada hal-hal yang memang disesuaikan seperti pemberian mertua kepada bidan yang sekarang banyak diganti dengan pemberian mentah berupa uang saja. Kemudian banyak yang sudah menggunakan bidan rumah sakit bukan lagi bidan kampung tetapi tradisi ba bu bideun tetap ada karena tugas bidan kampung mencuci kain darah ibu dan bayi serta memandikan nifas si ibu pada hari ke-44.

Pantangan
Seorang istri yang sedang mengalami masa hamil dalam masyarakat Aceh, maka ia pun mulai memasuki masa berbagai pantangan. Pantangan-pantangan yang harus ditempuhnya antara lain adalah duduk di ujung tangga (ulèe reunyeun), berada di luar rumah pada senja dan malam hari, melangkahi kuburan-kuburan, datang ke tempat-tempat suram, membicarakan hal-hal yang tidak pantas, dan melihat benda-benda serta hewan ajaib. Semua pantangan tersebut maksudnya adalah untuk mencegah dirinya dari kemungkinan-kemungkinan tertimpa bencana seperti jatuh karena tersandung, tubuh terbentur dengan benda keras, masuk angin, serta hal lain yang dianggap dapat membahayakan ibu dan janin. Selain itu, ada pula yang beranggapan karena tubuh orang yang hamil itu lemah dan aliran darahnya mudah mengalami perubahan maka dengan mudah dapat dipengaruhi oleh setan dan makhluk halus dengan maksud yang jahat. Oleh karena itu, ada semacam ajimat yang sudah dijampi (dirajah) yang kemubdian dililitkan pada pinggang wanita hamil tersebut untuk menangkal segala maksud jahat itu. Namun sekarang sudah banyak yang tidak menggunakan ajimat ini karena takut mengarah kepada syirik.

Selama empat puluh empat hari ketika sudah melahirkan pun ibu bayi harus tetap berada dalam kamar. Tidak boleh berjalan-jalan apalagi keluar rumah. Tidak boleh minum banyak, nasi dimakan tanpa gulai atau lauk-pauk. Hanya cukup dengan garam dan ikan teri gonseng. Begitu pula dengan makanan pedas sangat dilarang. Masa pantangan ini disebut masa duk dapu. Karena selama pantangan ibu bayi selalu dipanasi dengan bara api yang terus menerus di samping atau di bawah tempat tidurnya, masa ini disebut juga madeung.

Meuramien
Upacara meuramien (makan bersama) dara barô yang sudah hamil di tempat-tempat tamasya merupakan kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat Aceh. Dara barô kerapkali diajak makan bersama dipinggir-pinggir laut ataupun di tempat-tempat yang berpemandangan indah dengan tujuan supaya ia tidak kesepian duduk termenung memikirkan saat berat ketika bersalin pada bulan-bulan yang akan datang. Karena melahirkan dianggap sebagai pekerjaan sabung nyawa (sabông nyawong) maka dara barô mendapat santunan yng manja  dari sanak keluarganya.

Tahap Pertama Kelahiran Bayi
Tahap pertama kelahiran bayi merupakan tahap diadakannya upacara ketika bayi baru lahir. Serangkain upacara kelahiran tersebut akan kami paparkan sebagai berikut.

Koh Pusat 
Bidan terlebih dulu menyediakan alat-alat untuk menyambut kelahiran bayi berupa benang. Jika anaknya laki-laki maka benang tesebut terdiri dari 7 warna sedangkan jika anaknya perempuan benangnya terdiri dari 5 warna. Banyaknya warna benang ini melambangkan kekuatan fisik berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kemudian disiapkan pula teumen/buloh (sebilah bambu tipis) yang sudah diraut untuk alat memotong pusat. Ibu dara baro menyediakan kunyit dan sirih selengkapnya sedangkan mertua dara barô menyediakan ija tumpèe (kain pembungkus bayi).

Cara memotong pusat ialah dengan mengikat kedua ujungnya dengan tali benang kemudian bidan mengambil teumen lalu memotongnya. Pusat bayi yang sudah dipotong dibubuhi kunyit. Warna kunyit dilambangkan sebagai sumber kemuliaan, dulu warna kuning merupakan lambang kebangsawanan. Selanjutnya, bayi dimandikan dengan air yang agak hangat, lalu disembur dan diberi bedak. Semburan air sirih terdiri dari sirih, pinang, kapur, gambir lalu bayi dibedung dengan ija tumpèe. Namun, karena perkembangan zaman dengan ilmu medis yang semakin canggih, bidan rumah sakit sudah melarang penggunaan sembur sirih pada pusat bayi serta melarang penggunaan bedak pada bayi yang baru lahir. Lalu pemotongan pusat juga sudah dilakukan oleh bidan rumah sakit yang masih tetap mengawasi bayi sampai tali pusat kering dan terpisah dari pusat.

Azan atau Qamat
Upacara ini mengandung arti pengenalan terhadap agama Islam kepada bayi. Orang yang membacakan azan atau qamat harus orang yang bersih badannya, berwuduk, dan berpakaian rapi seperti orang yang akan melaksanakan salat. Bayi dipangku dengan menghadap kiblat lalu azan atau qamat dibacakan dengan suara nyaring dan merdu agar bayi itu nyaring dan merdu pula suaranya. Ada anggapan yang menyatakan bahwa jika bayi itu tidak menangis ketika mendengar azan atau qamat berarti ia akan mendengar nasihat-nasihat oarang tua nanti serta taat pada agama. Pemilihan orang yang membaca azan atau qamat mempunyai arti tertentu yang sangat berarti bagi si bayi karena kelak anak itu akn meniru sifat dan kedudukan seperti orang yang membacakan azan atau qamat tadi.

Tanom Adoe
Setelah melahirkan, adoe/placenta/ari-ari/kakak harus ditanam. Apabila dibuang sembarangan, kakak itu akan diganggu oleh bermacam-macam hewan yang mengakibatkan bayi sakit perut dan menimbulkan berbagai macam penyakit.

Adoe yang lahir bersama bayi tadi dibersihkan oleh bidan lalu dimasukkan dalam sebuah kanöt (periuk) yang terbuat dari tanah liat. Kemudian dibubuhi zat asam garam dan abu dapur supaya adoe dapat kering dan tidak membusuk. Dalam buku Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh disebutkan bahwa dalam periuk adoe tersebut juga dibubuhi aneka warna bunga-bunga dan wangi-wangian sebagai simbolik agar bayi tadi tahu kepada kebersihan dan kecantikan. Setelah dibubuhi berbagai keperluan tadi, kanöt tersebut ditanam oleh bidan. Adoe dari bayi laki-laki ditanam di bawah seurayueng (cucuran atap) dan adoe dari bayi perempuan ditanam di bawah tangga. Tempat penanaman ini dikaitkan hubungannya dengan kedudukan laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ratu rumah tangga.

Tahap Kedua Kelahiran Bayi
Tahap kedua kelahiran bayi merupakan upacara yang dilaksanakan ketika bayi sudah masuk ke usia yang mengharuskan cukô ôk, akikah, dan sebagainya.

Cukô Ôk
Cukô ôk merupakan upacara cukur rambut yang dilakukan setelah bayi berumur 1 bulan. Upacara ini bertujuan untuk membuang rambut kotor yang dibawa sejak lahir dan agar rambut bayi tumbuh lebih subur lagi. Di Tamiang upacara cukur rambut diadakan pada hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir yang disebut menyangke rambut budak yang kemudian disertai dengan pemberian nama bayi. Ada pula yang melaksanakan prosesi cukur rambut ini pada hari ketujuh kelahiran bayi.

Upacara cukur rambut biasanya dilakukan oleh bidan ataupun seorang tua yang telah lazim mengerjakan pekerjaan tersebut.

Peucicap
Upacara peucicap adalah upacara untuk memberi rasa makanan kepada bayi. Rasa yang diberikan ini terdiri dari manisan lebah dan air buah-buahan. Bahan-bahan yang harus dipersiapkan dalam upacara ini terdiri dari manisan lebah, buah sawo, mangga, rambutan, nangka, dan tebu. Kemudian dibutuhkan juga hati ayam, ikan lalu persiapkan juga surat Yasin dan Rencong. Bahan-bahan tadi dipersiapkan oleh nenek bayi dari pihak ibu bayi.

Peucicap dilakukan oleh orang-orang alim terpandang dan baik budi pekertinya agar bayi itu kelak alim, terpandang, dan baik budi pekertinya. Karena menurut anggapan mereka bayi akan meniru sifat-sifat orang peucicap. Jika bayi tersebut laki-laki maka peucicap dilakukan oleh laki-laki sedangkan jika bayi perempuan maka peucicap dilakukan oleh perempuan.

Peucicap dimulai dengan mengucapkan “bismillahirrahmanirrahim, beu mameh lidah, panyang umu, mudah raseuki, di thee lam kawom, dan taat keu agama” (bismillahirrahmanirrahim, manislah lidah, panjang umur, mudah rezeki, terpandang dalam keluarga, dan taat beragama). Setelah ucapan selesai, manisan lebah, air buah-buahan pun diolesi pada mulut bayi.

Setelah acara pengolesan manisan pada mulut bayi, lalu diambil hati ayam, diletakkan di atas dada bayi yang kemudian dibolak-balikkan dengan membaca basmallah. Hal ini bertujuan agar si anak bertindak dan berbuat sesuatu kelak selalu mendapat petunjuk. Seorang anak yang melakukan pekerjaan yang salah selalu ditegur dengan kata-kata “lagee ureung hana jibalek ate manok” (seperti oarang yang tidak dipecicap dengan hati ayam).

Terakhir setelah peucicap dengan manisan dan hati ayam, kemudian diperlihatkan surat Yasin dan rencong pada aneuk manyak yang bertujuan agar kelak ia menjadi anak yang taat pada agama serta menjadi anak yang berani mempertahankan kebenaran dan berani melawan kejahatan.

Akikah
Masyarakat Aceh menganggap upacara akikah merupakan adat yang berkaitan dengan agama. Bagi orang-orang yang mampu, upacara dilangsungkan dengan menyembelih kerbau atau kambing sedangkan bagi yang kurang mampu akan menyembelih kambing saja. Hewan yang disembelih adalah jantan, tidak boleh betina. Tradisi ini berlaku turun-temurun. Daging hewan harus habis dimakan pada hari kenduri itu. kalau masih ada sisanya daging itu dibagi-bagikan kepada sanak keluarga dan tetangga.

Pada saat akan dilangsungkan upacara, ayah si bayi menyerahkan hewan sembelihan itu dan seluruh bahan keperluan kenduri kepada Teungku Sagoe dan Geuchik. Mereka yang akan memanggil pemuda gampong sebagai tenaga pekerja dalam upacara. Kemudian hewan disembelih oleh Teungku, lalu dimasak bersama-sama dan makan pula bersama-sama.

Peutrôn Aneuk Manyak
Peutrôn Aneuk Manyak merupakan upacara turun tanah bayi yang pelaksanaannya berbeda-beda di setiap daerah. Turun tanah bayi pada masyarakat Gayo dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi lahir bersamaan dengan upacara cukur rambut, pemberian nama, dan akikah. Lain halnya pada masyarakat Aneuk Jamee, turun tanah bayi disebut dengan turun ka aie yang dilakukan pada hari keempat puluh empat bersamaan dengan cukur rambut, pemberian nama, dan kadang-kadang pula disertai dengan acara hadiah. Dahulu turun tanah bayi dilakukan setelah bayi berumur satu sampai dua tahun. Terlebih bila anak itu anak pertama karena upacara untuk anak pertama pasti lebih besar.

Pada hari upacara ini bayi digendong oleh seorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekerti. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Bayi beserta orang yang menggendong ditudungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada tiap seginya. Lalu di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tidak takut terhadap suara petir. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila anak itu perempuan sebagai simbolik agar anak perempuan tersebut kelak menjadi orang yang rajin. Jika anak itu laki-laki maka salah seorang keluarga akan bergegas mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu sebagai simbolik kesatriaan. Kemudian si anak ditegakkan di atas tanah, Teungku Sagoe menyebut sa, dua, lhee, peut, limong, nam, tuuuujoh. Disambung dengan ucapan “lagee bumoe nyoe teutap, meunan beuteutap pendirian gata” (seperti kukuhnya bumi ini, maka demikianlah pendirianmu harus tetap). Setelah itu, anak tersebut dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali dengan mengucapkan salam setibanya di rumah.

Pada masyarakat Gayo sebelum bayi diturunkan melalui tangga, terlebih dulu Imam beserta peserta upacara membaca doa untuk keselamatan agar bayi panjang umur, mudah rezeki, beriman, dan beragama. Kemudian bayi dipangku oleh seorang ralik (kerabat perempuan dari pihak ibu bayi) sambil melekatkan pulut kuning di telinga bayi, mengoles manisan lebah di bibir bayi dengan mengucapkan mudahlah rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama. Setelah itu, bayi dipangku oleh semua peserta upacara secara bergantian dengan mengucapkan ucapan yang sama hingga selesai. Lalu barulah bayi dibawa turun tanah ke tempat pemandian atau sungai untuk dimandikan dengan upacara tertentu.

Pada masyarakat Tamiang, turun tanah bayi disebut dengan menyangke rambut budak disertai dengan acara cukur rambut, pemberian nama, kenduri, dan marhaban. Bayi diayun dalam ayunan seirama dengan irama marhaban. Kemudian anggota marhaban berdiri, bayi diangkat dari ayunan oleh seorang anggota keluarga untuk dibawa keliling anggota marhaban tadi. Rambut digunting kemudian dimasukkan ke dalam kelapa muda terukir yang telah disediakan dalam talam. Pengguntingan rambut dilakukan oleh anggota marhaban secara bergiliran. Pengguntingan rambut diselesaikan oleh bidan dan dilanjutkan dengan acara jejak tanah bayi.

Peutrôn Dapu 
Upacara Peutrôn Dapu (turun dapur) dilakukan pada hari ke empat puluh empat setelah melahirkan. Cara-caranya sesuai dengan ajaran agama Islam. Pada hari tersebut, sanak keluarga dan tetangga berkumpul untuk turut membantu penyelenggaraan kenduri.

Ibu mertua yang datang bersama-sama sanak keluarganya untuk peusijuk menantunya yang telah mengeluarkan darah dari tubuhnya membawa bahan-bahan seperti ketan kuning (bu leukat kunèng), ayam panggang (manok panggang), beras padi bercampur beras kunyit (breuh padé, breuh kunèng), penganan (tumpoe), daun sidingin (ôn sisijuek), segenggam rumput padi (naleung sambo), sejenis dedaunan (ôn manek-manoe), dan tepung tawar (teupong tabeu). Secara adat resam yang lazim menepung tawari (peusijuk) menantunya dengan bahan-bahan yang dibawa sendiri kemudian diikuti oleh hadirin. Setelah upacara mandi dan menepung tawari selesai, ibu mertua mempersembahkan kepada menantunya satu setel pakaian dan sesetel pula untuk besannya sebagai hibah atas segala jerih payah selama ia merawat menantu dan cucunya.

Setelah melewati berbagai upacara di atas, ada tradisi lain yang mungkin sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Aceh yaitu tradisi membuai anak dengan nina bobok berupa kisah-kisah perjuangan, syair-syair agama, dan sajak-sajak yang menggelorakan semangat. Sejak masih dalam buaian anak sudah ditempa dengan lagu-lagu perjuangan dan dipupuk dengan kisah-kisah ajaran agama sehingga sudah selayaknya bila dewasa ia akan menjadi orang-orang berani dan satria serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama.

Sebagian sajak-sajak buaian yang populer yang dikutip dari buku Adat Resam Aceh adalah sebagai berikut.

Dô ku da idang
Geulayang ka putôh taloe
O manyak cut, rayeuk beureujang
Jak tulông prang bila nanggroe

Dô ida idang
Bak keutapang di teungoh nanggroe
Oh rayeuk gata hai ulèe balang
Jak bantu prang raja nanggroe

Jak ku dôdô, jak ku dôdô
Boh tulo ngon boh cempala
Oh rayeuk gata hai teungku lintô
Jak cok judô dalam ngaza
...
Diterjemahkan oleh Talsya sebagai berikut.
Tidur, tidurlah anakku sayang
Layang-layang putus talinya
Wahai kasihku intan cemerlang
Bantulah perang bila dewasa

Tidur-tidurlah putraku sayang
Pohon rindang di bukit sana
Bila usiamu dewasa nanti
Sembahkan bakti di medan jihad

Tidur, tidurlah intanku sayang
Unggas bermain di kaki bukit
Bila kasihku telah dewasa
Jemput jodohmu di kancah perang