Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Iklan Bar

Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara untuk Bahan Makalah

Ruang Blog Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. 

Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.

Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.

Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
Ada beberapa masalah yang secara realita masih dihadapi dalam pengelolaan keuangan negara saat ini,  yaitu :
  1. Rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan pemerintah akibat maraknya irasionalitas pembiayaan kegiatan negara. Kondisi ini disertai oleh rendahnya akuntabilitas para pejabat pemerintah dalam mengelola keuangan publik. Karenanya, muncul tuntutan yang meluas untuk menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja.
  2. Kurang adanya skala prioritas yang terumuskan secara tegas dalam proses pengelolaan keuangan negara yang menimbulkan pemborosan sumber daya publik. Selama ini, hampir tidak ada upaya untuk menetapkan skala prioritas anggaran di mana ada keterpaduan antara rencana kegiatan dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki. Juga harus dilakukan analisis biaya-manfaat (cost and benefit analysis) sehingga kegiatan yang dijalankan tidak saja sesuai dengan skala prioritas tetapi juga mendatangkan tingkat keuntungan atau manfaat tertentu bagi publik.
  3. Menuntut dilakukannya reformasi manajemen keuangan pemerintah adalah terjadinya begitu banyak kebocoran dan penyimpangan, misalnya sebagai akibat adanya praktek Kolusi Korupsi dan Nepotisme.
  4. Rendahnya profesionalisme aparat pemerintah dalam mengelola anggaran publik. Inilah merupakan sindrom klasik yang senantiasa menggerogoti negara-negara yang ditandai oleh superioritas pemerintah. Dinamika pemerintah, termasuk pengelolaan keuangan di dalamnya, tidak dikelola secara profesional sebagaimana dijumpai dalam manajemen sektor swasta. Jarang ditemukan ada manajer yang profesional dalam sektor publik. Bahkan terdapat negasi yang tegas untuk memasukkan kerangka kerja sektor swasta ke dalam sektor publik di mana nilai-nilai akuntabilitas, profesionalisme, transparansi, dan economic of scale menjadi kerangka kerja utamanya.
Penerimaan Negara
Penerimaan egara merupakan pemasukan yang diperoleh egara untuk membiayai dan menjalankan setiap program-program pemerintahan, sedangkan sumber-sumber penerimaan egara berasal dari berbagai egara, dimana semua hasil penerimaan tersebut akan digunakan untuk membiayai pembangunan dan meningkatkan kesejahtraan seluruh rakyat Indonesia. 

Pengelompokan sumber-sumber penerimaan egara menurut Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh egara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Selanjutnya Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria menegaskan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Bumi, air, dan ruang angkasa milik bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional.

Yang termasuk pengertian menguasai adalah mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur yang dapat dimiliki atas bagian dari bumi, air, dan ruang angkasa, serta mengatur hubungan egar antara subjek egar dan pembuatan-pembuatan egar mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Negara hanya menguasai bumi, air, dan ruang angkasa. Sehingga, dapat dipahami bahwa egara tidak dapat menjual tanah kepada pihak swasta. Contoh penerimaan egara dari kekayaan alam adalah minyak dan gas bumi.
Salah satu unsur APBN adalah anggaran pendapatan negara dan hibah yang diperoleh dari :

Penerimaan perpajakan
Pendapatan Pajak Dalam Negeri :
  1. pendapatan pajak penghasilan (PPh)
  2. pendapatan pajak pertambahan nilai dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah
  3. pendapatan pajak bumi dan bangunan
  4. pendapatan cukai
  5. pendapatan pajak lainnya
Pendapatan Pajak Internasional
pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Penerimaan sumber daya alam :
  1. penerimaan sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi (SDA migas)
  2. penerimaan sumber daya alam non-minyak bumi dan gas bumi (SDA nonmigas)
Pendapatan bagian laba BUMN :
  1. pendapatan laba BUMN perbankan
  2. pendapatan laba BUMN non perbankan
Sedangkan PNBP lainnya :
  1. pendapatan dari pengelolaan BUMN
  2. pendapatan jasa
  3. pendapatan bunga
  4. pendapatan kejaksaan dan peradilan dan hasil tindak pidana korupsi
  5. pendapatan pendidikan
  6. pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi
  7. pendapatan iuran dan denda
  8. pendapatan BLU
    1. pendapatan jasa layanan umum
    2. pendapatan hibah badan layanan umum
    3. pendapatan hasil kerja sama BLU
    4. pendapatan BLU lainnya.
PNBP dipungut atau ditagih oleh Instansi Pemerintah dengan perintah UU atau PP atau penunjukan dari Menteri Keuangan, berdasarkan Rencana PNBP yang dibuat oleh Pejabat Instansi Pemerintah tersebut. PNBP yang telah dipungut atau ditagih tersebut kemudian disetorkan ke kas negara dan wajib dilaporkan secara tertulis oleh Pejabat Instansi Pemerintah kepada Menteri Keuangan dalam bentuk Laporan Realisasi PNBP Triwulan yang disampaikan paling lambat 1 (satu) bulan setelah triwulan tersebut berakhir. Untuk satker yang berstatus Badan Layanan Umum, tidak seluruh PNBP harus disetor ke kas negara, namun boleh dikelola sendiri oleh satuan kerja yang bersangkutan dengan catatan siap dan sanggup diaudit.